Problematika Dokter Layanan Primer

Oleh :
Prof. dr. Eky S Soeria Soemantri
(Guru Besar Universitas Padjadjaran)

Saat ini Dokter Layanan Primer (DLP)  belum jelas maksud dan tujuannya. Hal ini akan membawa implikasi terhadap pelayanan kesehatan di Indonesia. Pertanyaannya, “Apakah DLP akan meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat di Indonesia, atau malah menambah ruwet lagi sistem pelayanan kesehatan masyarakat di Indonesia ?”

Dokter Layanan Primer atau Primary Care Physician, yakni seorang dokter generalis yang mengutamakan penyediaan pelayanan komprehensif bagi semua orang. Dokter ini melayani semua orang yang perlu layanan kesehatan tanpa batas usia, jenis penyakit, ras, dan tingkatan sosial. DLP biasanya adalah dokter yang pertama dihubungi oleh pasien, karena faktor-faktor kemudahan komunikasi, lokasi yang dapat diakses, keakraban, biaya, persyaratan perawatan. Lalu, DLP bertindak atas nama pasien untuk berkolaborasi dengan spesialis rujukan, mengoordinasikan perawatan yang diberikan oleh rumah sakit atau klinik rehabilitasi, bertindak sebagai pendata awal untuk catatan medik pasien, dan menyediakan manajemen jangka panjang pada pasien dengan kondisi yang kronis.

Dokter DLP di Belanda memiliki tugas untuk lebih mengenal dan mengetahui riwayat penyakit pasien, penyakit menahun yang diderita, bahkan mengunjungi pasien jika dipanggil. Kunci keberhasilan DLP di Belanda adalah karena rasio dokter dengan penduduk sudah mencukupi, sehingga DLP dapat melaksanakan tugasnya lebih ringan. Oleh sebab itu, Belanda sukses dalam menjalankan pelayanan kesehatan oleh DLP (rasio dokter dengan penduduk adalah 145,1:100.000), sedangkan Indonesia rasionya 1 dokter untuk 2.470 orang).
Tantangan DLP di negara maju, seperti Amerika Serikat adalah makin menurunnya minat mahasiswa kedokteran untuk menjadi DLP.  Tahun 2006, lebih dari 80 persen residen memilih menjadi spesialis. Akibatnya, praktik DLP di negara Paman Sam kian bergantung pada dokter lulusan asing.
Sebaran dokter di Indonesia
Per 31 Desember 2015, dokter yang mendapat STR dari Konsil Kedokteran Indonesia adalah 109.597. Terbanyak dari Jawa Barat (15,51 persen); DKI Jakarta (15,28 persen); Jawa Timur (12,25 persen). Daerah dengan jumlah dokter paling sedikit adalah Sulawesi Barat (0,11 persen); Maluku Utara (0,18 persen); dan Kalimantan Utara (0,19 persen).

Secara umum, tahun 2015, jumlah dokter Indonesia sudah memenuhi rasio, yaitu 40,5 dokter per 100 ribu. Tetapi, jika dilihat per provinsi, hanya 12 provinsi yang mencapai rasio dan 22 provinsi lainnya lebih rendah dari target Kemenkes. Bayangkan, di Sulawesi Barat saja pada 2013, seorang dokter harus melayani 11.400 orang.
Bagaimana dengan jumlah dokter spesialis ?  Sebagai  contoh, spesialis penyakit dalam, atau bidang spesialis terbesar yang diperlukan di Indonesia, tahun  2015 jumlahnya 3.449 orang (paling sedikit adalah Papua, Sulawesi Barat, dan Maluku). Jumlah ini masih sangat kurang di Indonesia. Bagaimana mungkin kita menggunakan sistem rujukan dan penapisan rujukan jika pemenuhan dokter spesialis saja, belum cukup di daerah tertentu.

Dengan data di atas, apakah keberadaan pendidikan DLP justru akan membebani fakultas kedokteran, dalam meluluskan dokter dan dokter spesialis yang kompeten ?

Bukankah akan lebih baik membenahi pendidikan dokter dan dokter spesialis yang sudah ada saat ini, dan menambah jumlah lulusan serta mengatur sebaran dokter dan dokter spesialis ke daerah-daerah yang rasionya belum terpenuhi ?

Masalah pendidikan DLP

Pertama, pendidikan DLP harus diselenggarakan di Fakultas Kedokteran (FK) yang berakreditasi A. Boleh akeditasi B,  tetapi tetap bekerja sama dengan FK berakreditasi A. Dari 75 fakultas kedokteran  yang ada saat ini,  hanya 17 fakultas yang berakreditasi A (22,67 persen).  Dengan beban berat FK menerima mahasiswa S1 rata-rata sebanyak 100-200 orang dan peserta pendidikan dokter  spesialis per bidang ilmu, rata-rata 10-20 orang (terdapat 34 bidang spesialis saat ini), beban yang ditanggung akan bertambah. Apalagi, jika diharuskan menerima dokter pendidikan DLP (jumlah pengajar, sarana, prasarana, dan dana).

Apakah akan terjadi pemborosan dana rakyat untuk prodi DLP ? Bukankah lebih baik dana digunakan untuk menambah jumlah lulusan dokter dan dokter spesialis karena di beberapa daerah, rasionya masih belum terpenuhi ?

Kedua, istilah ‘setara spesialis’ masih menjadi pertanyaan karena berbagai undang-undang dan peraturan menteri belum mengenal istilah setara spesialis. Dalam UU No 29 Tahun 2004 tentang praktik Kedokteran hanya dikenal istilah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis. Pertanyaannya adalah kedudukan ‘setara spesialis’ ini dalam Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).  Apakah dalam deskripsi KKNI, DLP berarti terletak di level 8 ?  Jika tidak, implikasinya akan berdampak pada golongan dan pangkat serta penggajian.

Ketiga,  sampai saat ini, belum melihat ada standar kompetensi dan standar pendidikan bagi DLP. Bagaimana kita akan mencapai tujuan pembelajaran jika standar kompetensi DLP saja belum ada. Bagaimana perbedaan kompetensi DLP dengan dokter umum dan dokter keluarga ? Semua itu masih belum jelas.
Bagaimana kita tahu bahwa DLP yang diluluskan sudah kompeten, jika uji kompetensi yang seyogianya mengacu pada standar kompetensi, ternyata masih belum disepakati. Apakah dosen yang mendidik peserta program DLP sudah terkualifikasi ? Sampai saat ini, belum diketahui kurikulum pendidikan program DLP yang akan diterapkan. 

Satu hal lagi yang dibutuhkan adalah standar kompetensi DLP, yang disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (UU Praktik Kedokteran no 29 – 2004).
Selanjutnya, lulusan program DLP harus menjalani uji kompetensi, yang diselenggarakan oleh Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) bekerja sama dengan IDI/Kolegium Dokter Indonesia. Jika IDI dan Kolegium Dokter Indonesia tidak mengakui pendidikan DLP, ada konsekuensi tidak dapat diterbitkannya  sertifikat kompetensi oleh IDI.  DLP pun tidak memenuhi syarat untuk mengajukan surat tanda registrasi ke KKI.

Keempat, DLP akan bekerja dan mengabdikan di fasilitas layanan primer. Saat ini dokter yang bekerja di puskesmas adalah dokter yang secara reguler harus mendapatkan Surat Tanda Registrasi setiap lima tahun. Mereka telah teruji keandalannya dalam bekerja di puskesmas. Jika DLP juga akan melakukan pelayanan di puskesmas, hal ini akan berpotensi memicu terjadinya konflik dengan dokter umum, terutama dalam pembagian kewenangan.

Alternatif Solusi Untuk Dunia Kesehatan Indonesia

Jika keberadaan DLP akan menimbulkan problematik, harus dipikirkan alternatif solusi.

Pertama, pendidikan dokter saat ini ditambah dengan mata ajar yang dapat memenuhi kompetensi yang diharapkan dalam konsep DLP, misal ditambahkan konsep kedokteran keluarga.

Kedua, untuk tujuan percepatan, dokter yang telah berpraktik ditingkatkan kompetensi dan keterampilannya, melalui Program Pembelajaran Kedokteran Berkelanjutan (P2KB) atau CPD (Continuing Professional Development), dengan materi yang mengacu pada kompetensi yang ingin ditingkatkan.

Ketiga, sebaiknya segala usaha, dana, sarana, dan prasarana kita fokuskan  terlebih dahulu untuk pemenuhan jumlah dokter serta dokter spesialis, agar sebarannya di daerah terpenuhi.  Artinya, pendidikan DLP ditunda dulu sampai jumlah dan sebaran dokter dan dokter spesialis terpenuhi.

Dengan demikian, program peningkatan pelayanan kesehatan di Indonesia bisa lebih fokus kepada hal-hal, yang dapat lebih diprioritaskan, yaitu dalam memenuhi sebaran dokter di seluruh Indonesia.

No comments:

Post a Comment

Pages