Stres dan Penyakit

 
 
Mengalami stres adalah bagian kehidupan manusia. Stres merupakan pengalaman subyektif yang dapat dievaluasi secara objektif. Suatu stres terdiri dari rangsangan positif (eustres) dan negatif (distres). Suatu stres menjadi patologis bila stres tersebut melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya. (1)

Stresor tersebut dapat bersifat fisik atau psikologik. Stressor fisik seperti terkena zat racun. Stresor psikologik seperti kematian orang yang dicintai, dapat menimbulkan respon maladaptif yang bisa menyebabkan kambuhnya beberapa penyakit kronis seperti : diabetes atau multipel sklerosis. Strategi coping (mengatasi persoalan) yang efektif dapat mencegah atau mereduksi efek stres yang berbahaya.(2)

Respon stres dikontrol oleh sejumlah aksi dalam sel saraf dan sistem endokrin. Aksi atau kerja ini mencoba mengarahkan energi kepada organ yang paling menderita karena stres.(2)

Ketika terjadi suatu stresor seperti perubahan dalam kehidupan, seseorang dapat bereaksi dengan salah satu dari kedua cara berikut (2) :

1. Adaptasi yang berhasil baik
2. Kegagalan beradaptasi (maladaptif)

Menurut Hans Selye, seorang perintis pengkajian mengenai stres dan penyakit menguraikan reaksi tubuh terhadap stres dalam beberapa stadium berikut (1,2) :


1. Reaksi Alarm (Respon Fight or Flight)

    Dalam upaya ganda ini, respon medula adrenal yang bekerja simpatik (simpatoadrenal) menyebabkan pelepasan epinefrin dan poros hipotalamus-hipofisis-adrenal menyebabkan pelepasan hormon-hormon glukokortikoid sehingga terjadi peningkatan glukokortikoid plasma dan pembesaran kelenjar adrenal. Pelepasan ini merupakan adrenaline rush yang disertai kepanikan atau agresi. Secara ringkas, pada stadium ini akan terjadi (1,2) :

  • Sistem saraf pusat mulai dibangkitkan.
  • Epinefrin dan norepinefrin bersama hormon lain dilepaskan sehingga terjadi peningkatan hal-hal berikut : frekuensi jantung, kekuatan kontraksi jantung, asupan oksigen, dan aktivitas mental.
Berikut penjelasan lebih rinci mengenai stadium 1 ini :

Hormon Hipotalamus-Hipofisis

Hipotalamus merupakan bagian otak yang mengatur keseimbangan air, suhu tubuh, dan rasa lapar. Bagian ini juga berperan penting dalam pengaturan perasaan marah, nafsu, rasa takut, dan untuk  mnegintegrasikan respons-respons simpatis dan parasimpatis. Intinya, Hipotalamus adalah struktur primer di otak yang bertanggung jawab mempertahankan homeostasis. Keadaan stres mempengaruhi hipotalamus untuk melepaskan hormon-hormon tertentu.(1)

Hipotalamus  menghasilkan dan melepaskan corticothropic-releasing hormon (CRH) ke dalam sistem aliran darah portal hipotalamus-hipofisis. CRH menyebabkan hipofisis anterior mengeluarkan hormon adrenokortikotropin (ACTH). Hormon ini beredar dalam darah ke korteks adrenal dan menyebabkan pelepasan hormon glukokortikoid, kortisol. Sebenarnya CRH selalu dilepaskan dengan kadar basal tertentu. Namun, stres emosi dapat menyebabkan peningkatan pelepasan CRH oleh hipotalamus, yang kemudian menyebabkan peningkatan ACTH dan kortisol.(1)

Kortisol

Berikut adalah efek dari kortisol (1) :

  • Merangsang glukoneogenesis.
  • Merangsang pemecahan molekul-molekul penyimpan energi misalnya : lemak, protein, karbohidrat.
  • Mempersiapkan tubuh merespon stres dengan meningkatkan respon simpatis, termasuk respon untuk meningkatkan curah jantung dan mempertahankan tekanan darah.
  • Mempengaruhi susunan saraf pusat sehingga tubuh tetap terjaga dan siap berespon secara kognitif dan emosi
  • Dalam kadar yang tinggi, Kortisol dapat mengurangi fungsi imun dan peradangan. Kortisol mampu menghambat pembentukan dan pelepasan semua sel darah putih, menghambat fungsi sel B dan T, dan  menghambat pembentukan interleukin, yang digunakan sebagai alat komunikasi antar sel darah putih. Kortisol juga mampu menurunkan akumulasi sel darah putih di tempat cedera sehingga meningkatkan kerentanan terhadap infeksi dan menghambat penyembuhan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa pelepasan kortisol terjadi pada saat terjadi infeksi atau cedera. Mungkin, pelepasan kortisol jangka pendek dapat membantu tubuh membatasi kerusakan jaringan yang ditimbulkan oleh peradangan. Sementara stres kronik akan menyebabkan efek negatif oleh imunosupresi jangka panjang kortisol.
  • Merangsang sekresi asam lambung.
  • Mempengaruhi pelepasan hormon dan hypothalamic releasing factors.
  • Menghambat gonadotropin releasing factors yang mengontrol ovulasi pada wanita dan sintesis sperma dan testosteron pada pria.
  • Merangsang pelepasan hormon hipotalamus somatostatin, suatu inhibitor pelepasan hormon pertumbuhan.

Endorfin

Endorfin merupakan peptida yang dilepaskan oleh hipotalamus atau hipofisis anterior., serta jaringan lain sebagai respon terhadap stres baik secara langsung maupun akibat perangsangan CRH dari hipotalamus. (1)

Efek Endorfin (1) :
  • Mengurangi persepsi nyeri
  • Memperbaiki suasana hati dan meningkatkan perasaan sejahtera.
Pajanan nyeri atau stres berkepanjangan menyebabkan simpanan endorfin berkurang sehingga meningkatkan persepsi nyeri dan rasa putus asa.(1)

Susunan Saraf Simpatis

Respon saraf simpatis terhadap stres adalah dengan melepaskan katekolamin berupa epinefrin, dan norepinefrin dari neuron-neuron simpatis dan medula adrenal. Katekolamin yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal (medula adrenal) cepat dimetabolisasi sehingga efeknya lebih terbatas daripada efek yang ditimbulkan bila dilepaskan oleh neuron simpatis. (1)

 (Tambahan dari penulis blog : Perlu kami jelaskan juga bahwa katekolamin adalah sebutan secara umum untuk semua senyawa yang mengandung gugus catechol. Dalam tubuh manusia sendiri terdapat 3 bentuk katekolamin yaitu : dopamin, epinefrin, dan norepinefrin. )

Gugus Cathecol

Katekolamin Dalam Tubuh Manusia



Efek Katekolamin (dalam hal ini epinefrin dan norepinefrin) (1) :

  • Norepinefrin berikatan dengan reseptor alfa yang diidentifikasi dengan alfa-1 dan alfa-2. Pengikatan ke reseptor alfa-1 yang sebagian besar terdapat di sel otot polos vaskular menyebabkan otot berkontraksi sehingga aliran darah ke organ yang diperdarahi oleh pembuluh darah tersebut (organ saluran cerna, ginjal, kulit) akan menurun dan memaksimalkan aliran darah ke otak, jantung dan otot rangka sewaktu stres.
  • Norepinefrin berikatan dengan reseptor otot polos di saluran cerna dan menyebabkan relaksasi otot sehingga pencernaan dan motilitas saluran cerna menjadi lambat (normal 5-35 kali/menit)
  • Pelepasan Norepinefrin menyebabkan peningkatan kadar glukosa plasma dengan meningkatkan pemecahan simpanan glukosa di hati dan otot rangka dan menyebabkan hati melepaskan lebih banyak glukosa ke dalam plasma.
  • Norepinefrin yang dikeluarkan saraf simpatif yang mempersarafi mata menyebabkan dilatasi pupil, mempersiapkan tubuh untuk setiap serangan atau kejutan.
  • Epinefrin dalam darah atau yang dihasilkan oleh saraf bekerja dengan berikatan tidak hanya dengan reseptor alfa, tetapi juga dengan reseptor beta yang diidentifikasi sebagai beta-1 dan beta-2. Dengan mengikat reseptor beta-1 di jantung, epinefrin menyebabkan peningkatan kecepatan denyut jantung dan kotraktilitasnya, dimana keduanya menyebabkan peningkatan curah jantung selama stres.
  • Epinefrin berikatan dengan reseptot beta-2 di hati dan otot rangka yang menyebabkan peningkatan pelepasan glukosa, sehingga terjadi peningkatan ketersediaan glukosa untuk semua sel untuk digunakan dalam respon fight or flight apabila diperlukan.
  • Epinefrin yang berikatan dengan reseptor beta-2 di otot polos bronkiolus --> relaksasi otot bronkiolus --> saluran udara lebih terbuka --> meningkatkan aliran udara ke paru  --> oksigen lebih banyak masuk ke jaringan untuk digunakan selama keadaan stres.


2. Resistensi (2)

    Pada stadium ini, akan terjadi dua kemungkinan : a). Tubuh mampu beradaptasi dan kembali ke kondisi homeostasis, b). tubuh tidak mampu beradaptasi dan masuk ke stadium kelelahan (exhaustion stage. 

3. Stadium Pemulihan (Recovery) atau Kelelahan (Exhaustion) (2)

    a). Jika tubuh mampu beradaptasi, maka tubuh akan kembali ke kondisi homeostasis dan setelah stres berhenti maka tubuh akan kembali kepada keadaan normal sehingga terjadi pemulihan (recovery)

   b). Jika tubuh tidak mampu beradaptasi (maladaptif), maka tubuh akan masuk ke stadium kelelahan (exhaustion stage) dimana akan terjadi :

  • Ketidakmampuan tubuh untuk memproduksi hormon seperti pada stadium alarm.
  • Kerusakan organ mulai terjadi.
Pada stadium 3 inilah seseorang memperlihatkan tanda-tanda awitan suatu keadaan sakit. (1)



Sumber : 

  1. Corwin, Elizabeth C, dkk. Buku Saku Patofisiologi.Jakarta:Penerbit EGC.2000 
  2. Kowalak, Jennifer P, dkk.Buku Ajar Patofisiologi.Jakarta:Penerbit EGC.2012
 
 
Terima kasih telah mengunjungi dan membaca artikel di website kami. Dapatkan Update Artikel dengan cara mengikuti beberapa Link berikut:


Facebook: https://web.facebook.com/OfficialCatatanDokter
Telegram : https://t.me/catatandokter atau @catatandokter

 

 

Artikel Lainnya

No comments:

Post a Comment

Pages