Mengapa IDI Menolak Dokter Layanan Primer ?

Q: Mengapa IDI menolak DLP ?

A: Perlu ditegaskan bahwa yang ditolak IDI bukan DLP, tapi yang ditolak adalah Program Studi DLP. Di dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) tahun 2012 yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), yang disusun bersama IDI bersama AIPKI, mencantumkan bahwa lulusan dokter memiliki kompetensi dokter layanan primer. Di dalam sertifikat kompetensi yang diterbitkan oleh Kolegium Dokter Indonesia (sebelumnya bernama Kolegium Dokter Primer Indonesia) mencantumkan kalimat dokter layanan primer. Di dalam SKDI tahun 2012, disebutkan mengenai tingkat kemampuan 4B yaitu Profisiensi (kemahiran) yang dicapai setelah selesai internsip dan/atau Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB). IDI memandang kompetensi DLP cukup diperoleh dengan pendidikan berkelanjutan (P2KB/CPD) tanpa perlu melalui pendidikan formal. Tujuan akhir yang sama-sama ingin dicapai adalah peningkatan kualitas dokter di layanan primer.

Q: Apa masalahnya dengan Prodi DLP ?

A: IDI tidak mempermasalahkan mengenai kebutuhan akan pendidikan baru bagi dokter jika memenuhi kaidah-kaidah yang berlaku di profesi kedokteran. Jika bicara mengenai pendidikan dokter, maka menjadi ranah Kolegium (MKKI) di IDI yang berhak melihat apakah pendidikan baru tersebut telah memenuhi kaidah-kaidahnya. Salah satu ketentuan yang berlaku adalah percabangan ilmu baru harus memenuhi perbedaan sebesar 70% dari disiplin ilmu lain yang telah ada. Hingga saat ini belum tuntas mengenai perbedaan kompetensi DLP (yang diajukan oleh pemerintah) dengan kompetensi dokter umum (lulusan prodi pendidikan profesi dokter) atau dengan kompetensi spesialisasi lain di IDI yang mungkin saja bersinggungan. Karena belum selesainya pembahasan kompetensi tersebut, maka belum ada Kolegium yang mengampu disiplin ilmu baru yang disahkan melalui forum Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI), yang selanjutnya harus disahkan oleh KKI sehingga Kementerian memiliki dasar untuk mengesahkan program studi tersebut.

Proses di tingkat MKKI dan KKI yang belum tuntas, namun pemerintah tetap memaksa prodi DLP tetap berjalan di beberapa fakultas kedokteran. Ditambah lagi, peraturan turunan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran berupa peraturan pemerintah (Pasal 7 ayat 9) dan peraturan menteri (Pasal 29 ayat 2) belum terbit sebagai dasar hukum pelaksanaan program studi.
Hal krusial lain adalah masih terdapat permasalahan aspek legal di dalam UU Dikdok yang berimplikasi terhadap penghilangan kewenangan serta kastanisasi dokter di FKTP.

Q: Apa masalah lain dari DLP yang terdapat di undang-undang ?

A: Beberapa permasalahan terkait DLP di undang-undang:
Penjelasan Pasal 8 ayat (2) menyebutkan “Program dokter layanan primer ditujukan untuk memenuhi kualifikasi sebagai pelaku awal pada layanan kesehatan tingkat pertama, melakukan penapisan rujukan tingkat pertama ke tingkat kedua, dan melakukan kendali mutu serta kendali biaya sesuai dengan standar kompetensi dokter dalam sistem jaminan kesehatan nasional.” Hal yang berimplikasi secara nasional yaitu kalimat yang menyebutkan bahwa DLP sebagai pelaku awal dan melakukan penapisan rujukan. Dalam arti bahwa dokter selain DLP di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) tidak dapat menjalankan fungsi sebagai pelaku awal dan melakukan rujukan. Hal ini tentunya akan menimbulkan masalah nasional.
Pasal 8 ayat (3) menyebutkan “Program dokter layanan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kelanjutan dari program profesi dokter dan program internsip yang setara dengan program dokter spesialis.” Kalimat “setara dengan program dokter spesialis” menimbulkan kebingungan mengenai pendidikan yang harus ditempuh. Jika pendidikan ini adalah pendidikan spesialis maka seharusnya mengikuti kaidah pembentukan disiplin ilmu baru di lingkungan profesi dokter.

Terdapat beberapa hal lain yang dinilai menimbulkan kebingungan jika disinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan lain.

Q: Apakah tidak ada komunikasi dengan kementerian mengenai peraturan turunan terkait DLP ?

A: PB IDI telah terlibat dalam pembahasan rancangan peraturan pemerintah tentang peraturan pelaksana undang-undang pendidikan kedokteran. Hal-hal yang dikritisi terkait standar kompetensi serta aspek lain di undang-undang yang dipandang bermasalah telah disampaikan dalam setiap forum pembahasan. Namun pemerintah belum menerima sepenuhnya masukan dan usulan dari IDI. PB IDI telah bersurat formal kepada Kementerian RistekDikti yang menyatakan belum menerima pembahasan terkait DLP dan meminta agar substansi DLP dikeluarkan dari draft PP, namun pemerintah tetap menjalankan program tersebut meski PP belum terbit.

Q: Apa masalahnya jika pemerintah tetap menjalankan program DLP ini ?

A: Saat ini telah timbul potensi konflik horizontal antar dokter. Konflik antara yang mendukung dengan mayoritas anggota IDI yang mengawal putusan Muktamar IDI menjadi perhatian serius dari PB IDI. Sebagai organisasi yang mengemban amanah untuk mempersatukan seluruh potensi dokter, IDI harus menyikapi persoalan ini sesegera mungkin dan menemukan penyelesaian masalahnya. Namun upaya yang dilakukan PB IDI untuk mendorong pemerintah menunda dulu pelaksanaan program hingga tuntas pembahasan di DPR mendapat respon yang kurang positif. Pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan tetap bertahan agar dokter-dokter yang telah terdaftar untuk terus menjalani program. Bahkan ada beberapa dokter di puskesmas yang diminta untuk menjadi tenaga pengajar. Terakhir, Kementerian Kesehatan secara masif bersurat ke Gubernur/Bupati/Walikota untuk mendukung program pendidikan DLP ini. Apakah pemerintah ingin konflik antar dokter terus tercipta ? IDI terus berjuang untuk mempersatukan seluruh dokter Indonesia.

Q: Apa solusi yang didorong oleh IDI ?

A: IDI tetap mendorong ada penguatan kompetensi dokter di layanan primer melalui pendidikan berkelanjutan (P2KB/CPD). Modul pelatihan disusun bersama IDI (termasuk perhimpunan) dengan Kementerian terkait dan asosiasi institusi pendidikan. Dalam pelaksanaannya, instruktur pelatihan dapat dimintakan dari institusi pendidikan yang berpengalaman. Bentuk pelatihan juga dapat dilakukan jarak jauh dengan modul yang disesuaikan. KKI pun telah sepakat bahwa dari pelatihan tersebut dapat diberikan kompetensi tambahan yang dibuktikan dengan Sertifikat Kompetensi Tambahan dan pencantuman kompetensinya di STR.

Hal yang terpenting yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah pemerataan dokter ke daerah. Pemerataan dokter ke daerah harus diikuti dengan advokasi tingkat kesejahteraan dokter yang akan bertugas ke daerah. Harus ada pembeda tunjangan fungsional serta dukungan tugas yang diberikan kepada dokter yang akan bertugas ke daerah.

IDI dan KKI sepakat untuk Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) bagi dokter di level 8. Dikhawatirkan upaya ini akan dimentahkan dengan menetapkan dokter menjadi turun di level 7 kembali gara-gara pemaksaan DLP.

Semua harus tersenyum, rakyat dan dokter.

No comments:

Post a Comment

Pages