Dari Nobel hingga Presisi: Bagaimana Inovasi Mengubah Wajah Terapi Kanker dan Membangun Harapan Baru


 

 

Abstrak 

Artikel ini mengulas berbagai aspek inovasi dalam terapi kanker, menyoroti peran krusial antibodi monoklonal, tantangan diagnostik, dan strategi pengobatan yang dioptimalkan. Pembahasan mencakup mekanisme kerja immune checkpoint inhibitors anti-PD-1 dan anti-CTLA-4 yang meraih Nobel, dampak ekonomi pengembangan obat baru, serta isu-isu seperti deteksi PD-L1 yang terhambat glikosilasi, pengaruh ritme sirkadian pada efikasi terapi, dan resistensi terhadap PARP inhibitors pada kanker terkait BRCA. Artikel ini juga menyerukan kepada komunitas ilmiah di Taiwan untuk mengambil peran aktif dalam memajukan penelitian dan pengembangan obat kanker, mengingat tingginya angka kematian akibat kanker di negara tersebut.

 

Pendahuluan 

Profesor Mien-Chie Hung, seorang ilmuwan visioner yang telah memimpin inovasi selama beberapa dekade di University of Texas dan Anderson Cancer Research Center, serta mantan presiden China Medical University, telah memberikan kontribusi signifikan dalam biologi kanker modern, termasuk sinyal onkogenik, perbaikan DNA, dan regulasi imun. Kembali ke Taiwan, beliau menekankan pentingnya kontribusi lokal dalam mengatasi tantangan kanker di Taiwan. Data dari MOHW Taiwan dan WHO menunjukkan bahwa meskipun ada penurunan angka kematian akibat kanker di Taiwan (misalnya, dari 158 per 100.000 populasi pria pada 2017 menjadi 151 pada 2020), angka ini masih relatif tinggi dibandingkan negara maju lainnya seperti Korea dan Jepang. Hal ini menyoroti urgensi inovasi dan tanggung jawab kolektif komunitas ilmiah di Taiwan. Artikel ini akan mengeksplorasi beberapa area kunci inovasi dalam terapi kanker, mulai dari terobosan imunoterapi hingga penargetan molekuler, serta tantangan dan peluang yang menyertainya.

 

1. Imunoterapi Kanker: Mekanisme dan Dampak Revolusioner 

 

Antibodi monoklonal telah merevolusi pengobatan kanker. Berbeda dengan terapi konvensional yang langsung menargetkan sel kanker, beberapa antibodi monoklonal, seperti anti-PD-1 (dikembangkan oleh Toshihiko Honjo) dan anti-CTLA-4 (dikembangkan oleh Jim Allison), bekerja dengan memperkuat respons imun tubuh. Pada tahun 2018, Jim Allison dan Toshihiko Honjo dianugerahi Hadiah Nobel atas penemuan mereka. Mereka menemukan bahwa sel tumor, yang berasal dari sel normal yang bermutasi dan memiliki antigen tumor spesifik, seringkali menghindari penghancuran oleh sel T (komponen kunci respons imun) dengan mengekspresikan ligan PD-L1. PD-L1 ini berinteraksi dengan reseptor PD-1 pada sel T, secara efektif "mematikan" respons imun terhadap tumor. Antibodi anti-PD-1 atau anti-CTLA-4 bekerja dengan memblokir interaksi ini, sehingga "melepaskan rem" pada sel T dan memungkinkannya untuk membunuh sel tumor. Penting untuk dicatat bahwa antibodi ini tidak secara langsung membunuh sel tumor, melainkan memfasilitasi respons imun tubuh sendiri. Terapi ini telah menunjukkan hasil yang luar biasa, terutama pada kasus melanoma lanjut. Sebelum ketersediaan obat ini, 85-90% pasien melanoma lanjut meninggal dalam setahun setelah diagnosis. Dengan terapi anti-PD-1 atau anti-CTLA-4, atau kombinasi keduanya, 50% pasien dapat bertahan hidup lebih dari 5 tahun.

 

2. Evolusi Teknologi Antibodi Monoklonal dan Nilai Pasar 

 

Metodologi produksi antibodi monoklonal skala besar menggunakan hibridoma ditemukan pada tahun 1975 oleh Georges Köhler, César Milstein, dan Niels Kaj Jerne, dan dianugerahi Hadiah Nobel pada tahun 1984. Namun, butuh waktu hingga tahun 1998 bagi teknologi ini untuk matang dan menghasilkan obat yang disetujui FDA. Pada awalnya, banyak investasi hilang karena kurangnya pemahaman tentang humanisasi antibodi. Pasar obat antibodi monoklonal telah tumbuh pesat. Dari nilai pasar tahunan $6 miliar 25 tahun yang lalu, kini mencapai $25 miliar untuk satu obat antibodi monoklonal terlaris (misalnya, anti-PD-1). Total nilai pasar untuk antibodi monoklonal diperkirakan mencapai $300 miliar. Ini menunjukkan potensi finansial yang sangat besar bagi pengembangan obat baru, dengan seruan untuk menginvestasikan kembali sebagian keuntungan untuk penelitian dan membuat obat lebih terjangkau.

 

Inovasi lebih lanjut termasuk Konjugat Obat Antibodi (ADC), di mana antibodi digabungkan dengan obat kemoterapi yang sangat kuat. Antibodi ini menargetkan sel tumor (misalnya, melalui PD-L1), terinternalisasi, dan melepaskan obat di dalam sel. Ini tidak hanya membunuh sel tumor target tetapi juga, melalui "efek bystander," membunuh sel tumor tetangga yang mungkin PD-L1 negatif, sehingga meningkatkan efektivitas pembunuhan tumor. Contoh studi pada model hewan kanker payudara triple-negatif menunjukkan bahwa sementara antibodi anti-PD-L1 saja menghasilkan 25% kelangsungan hidup, kombinasi dengan ADC meningkatkan kelangsungan hidup hingga 70%, menunjukkan peningkatan efek pembunuhan tumor yang signifikan.

 

3. Tantangan Diagnostik Kanker: Kasus Deteksi PD-L1 dan Glikosilasi 

 

Meskipun terapi anti-PD-1 sangat efektif pada pasien PD-L1 positif, data uji klinis menunjukkan bahwa sejumlah pasien PD-L1 negatif juga merespons terapi ini (tingkat respons sekitar 10-20%). Ini menimbulkan pertanyaan mengapa pasien tanpa ekspresi PD-L1 yang terdeteksi masih merespons. Hipotesis utama adalah adanya "negatif palsu" dalam deteksi PD-L1. Protein PD-L1 (polipeptida 33KD) dapat mengalami glikosilasi berat, mencapai berat molekul 55KD. Glikosilasi yang heterogen ini dapat menutupi epitop antigenik PD-L1, sehingga antibodi diagnostik yang menargetkan polipeptida tidak dapat mendeteksinya.

Penelitian menunjukkan bahwa dengan menghilangkan glikosilasi menggunakan enzim komersial sebelum imunohistokimia, banyak sampel yang awalnya negatif PD-L1 berubah menjadi positif. Misalnya, sebuah kasus pasien kanker paru-paru di Kaichung yang awalnya PD-L1 negatif menurut kit diagnostik standar, namun tumornya menyusut setelah imunoterapi. Setelah glikosilasi dihilangkan, sampel tumornya menunjukkan hasil positif. Metode ini, yang dipublikasikan pada tahun 2019, telah divalidasi dalam studi retrospektif dan menunjukkan korelasi yang lebih kuat dengan kelangsungan hidup pasien (nilai-p 0.001 dibandingkan dengan 0.1 untuk metode tradisional). Pengembangan metode diagnostik yang lebih akurat ini sangat penting untuk mengidentifikasi pasien yang benar-benar akan mendapat manfaat dari imunoterapi.

 

4. Mengoptimalkan Terapi: Pengaruh Ritme Sirkadian pada Pengobatan Anti-PD-1 

Data klinis yang mengejutkan dari berbagai jenis kanker, yang dipublikasikan di Lancet Oncology pada tahun 2021 dan diulang dalam banyak studi lain, menunjukkan bahwa waktu pemberian terapi anti-PD-1 sangat memengaruhi hasilnya. Pasien yang diobati pada waktu yang lebih awal (misalnya, sebelum pukul 16.30) menunjukkan tingkat kelangsungan hidup yang lebih baik dibandingkan mereka yang diobati lebih lambat. Penjelasan parsial untuk fenomena ini adalah kontrol ritme sirkadian terhadap ekspresi PD-1 pada sel T. Ritme sirkadian, yang mengatur banyak proses biologis dalam tubuh, memengaruhi ekspresi protein seperti PD-1, yang pada gilirannya memengaruhi respons imun. Penemuan ritme sirkadian ini sendiri telah dianugerahi Hadiah Nobel pada tahun 2017 kepada Jeffrey C. Hall, Michael Rosbash, dan Michael W. Young. Pemahaman lebih lanjut tentang bagaimana ritme sirkadian memengaruhi respons imun dapat mengarah pada strategi pengobatan yang lebih terpersonalisasi dan efektif.

 


 

 

5. Penargetan Perbaikan DNA: Inhibitor PARP dan Mekanisme Resistensi 

 

Mutasi pada gen BRCA meningkatkan risiko kanker payudara dan ovarium secara signifikan. Sel kanker dengan mutasi BRCA sangat bergantung pada jalur perbaikan DNA alternatif yang dimediasi oleh enzim PARP. Inhibitor PARP telah dikembangkan sebagai obat yang efektif untuk menargetkan sel-sel kanker ini, memanfaatkan konsep synthetic lethality. Obat pertama, olaparib, disetujui pada tahun 2014, dan kini ada empat hingga lima obat yang disetujui FDA untuk kanker terkait BRCA.

 

Meskipun efektif, 50-60% pasien menunjukkan resistensi terhadap inhibitor PARP. Penelitian telah mengidentifikasi berbagai kinase yang berkontribusi terhadap resistensi ini. Salah satu contoh adalah C-met overexpression, yang dapat memfosforilasi PARP pada tirosin 907, mencegah inhibitor PARP mengikat dan menghambatnya. Dengan mengidentifikasi mekanisme resistensi ini, obat yang sudah disetujui FDA yang menargetkan kinase seperti C-met dapat dikombinasikan dengan inhibitor PARP untuk mengatasi resistensi dan meningkatkan hasil pengobatan. Strategi ini memungkinkan penargetan pasien yang tepat dengan obat yang tepat, seringkali dengan menggunakan obat yang sudah tersedia.

 

6. Seruan untuk Aksi: Membangun Inovasi Farmasi di Taiwan 

 

Mengingat tingginya angka kematian akibat kanker di Taiwan dan potensi besar dalam pengembangan obat, ada seruan kuat bagi para peneliti dan mahasiswa untuk mengambil tanggung jawab dalam memajukan bidang ini. Nilai pasar obat terlaris telah meningkat dari $6 miliar menjadi $25 miliar per tahun, dengan antibodi monoklonal mendominasi pasar saat ini. Dibandingkan dengan negara seperti Swiss yang memiliki industri farmasi kelas dunia (dua perusahaan farmasi masuk dalam 10 besar global) meskipun populasinya kecil, Taiwan memiliki potensi yang belum sepenuhnya tergali. Perbedaan ini sebagian dapat dijelaskan oleh kerangka regulasi yang lebih matang di negara-negara tersebut (misalnya, FDA AS berusia lebih dari 100 tahun, sementara FDA Taiwan baru berusia 10 tahun). Namun, ini adalah panggilan untuk inovasi dan pengembangan. Pengembangan obat baru, terutama antibodi monoklonal, menawarkan peluang ekonomi yang besar dan, yang lebih penting, potensi untuk menyelamatkan nyawa. Penting untuk tidak hanya fokus pada penemuan, tetapi juga pada penerjemahan penemuan dasar ke dalam aplikasi klinis dan ketersediaan obat yang lebih terjangkau.

 

Kesimpulan 

 

Perjalanan dalam terapi kanker terus berkembang pesat, didorong oleh penemuan-penemuan fundamental dan inovasi teknologi. Dari imunoterapi yang mengubah paradigma hingga penargetan molekuler yang presisi dan strategi diagnostik yang lebih cerdas, setiap kemajuan membawa harapan baru bagi pasien. Namun, tantangan tetap ada, termasuk resistensi obat, diagnostik yang tidak sempurna, dan kebutuhan untuk mengoptimalkan strategi pengobatan. Dengan semangat kolaborasi dan komitmen terhadap penelitian, komunitas ilmiah di Taiwan memiliki kesempatan unik untuk membuat kontribusi signifikan dalam pertarungan global melawan kanker, mengubah tantangan menjadi peluang untuk inovasi dan dampak yang berarti.

 

 Referensi

  1. Sumber utama artikel ini berdasarkan kuliah Prof.  Mien-Chie Hung, PhD, What we can contribute to cancer in Taiwan?. Oct 7th 2025 at Yingcai Campus.
  2. FGFR3-induced Y158 PARP1 phosphorylation promotes PARP inhibitor resistance via BRG1/MRE11-mediated DNA repair in breast cancer models 
  3. MTAP deficiency confers resistance to cytosolic nucleic acid sensing and STING agonists 
  4. Targeting ALK averts ribonuclease 1-induced immunosuppression and enhances antitumor immunity in hepatocellular carcinoma 

 

sdsds

Terima kasih telah mengunjungi dan membaca artikel di website kami. Dapatkan Update Artikel dengan cara mengikuti beberapa Link berikut:


Facebook: https://web.facebook.com/OfficialCatatanDokter
Telegram : https://t.me/catatandokter atau @catatandokter

 

 

Artikel Lainnya

No comments:

Post a Comment

Pages