Predict Before Treat - Personalisasi Terapi Berdasarkan Biomarker


 

 

Pendahuluan

 

Pendekatan "satu ukuran untuk semua" dalam onkologi semakin digantikan oleh strategi pengobatan yang lebih personal dan presisi. Konsep "Predict Before You Treat" menggarisbawahi pentingnya identifikasi biomarker prediktif untuk memandu keputusan terapeutik, beralih dari terapi kombinasi penyelamatan menuju intervensi yang lebih terarah dan efektif. Artikel ini mengeksplorasi peran krusial biomarker dalam penanganan empat jenis kanker yang menantang: karsinoma hepatoseluler (HCC), kanker saluran empedu, karsinoma urotelial, dan kanker rektum.

 

Kami akan menyoroti bagaimana pemahaman mendalam tentang biologi tumor dan identifikasi penanda molekuler dapat mengoptimalkan hasil pasien, termasuk studi kasus mengenai metformin yang meningkatkan sensitivitas sorafenib pada HCC melalui aktivasi autofagi yang diinduksi AMPK/CEBPD, implikasi leptin-STAT3-CEBPDelta-MCL1 pada kemoresistensi gemcitabine di BTC, peran ekspresi SFRP2 stroma dan infiltrasi CAF pada karsinoma urotelial, serta hubungan CXCL11 dengan makrofag M1 dan prognosis pada kanker rektum pasca-kemoradiasi.

 

Paradigma Baru dalam Onkologi

 

Dalam beberapa dekade terakhir, lanskap pengobatan kanker telah mengalami transformasi signifikan. Dari kemoterapi sitotoksik konvensional, kita kini bergerak menuju era terapi bertarget dan imunoterapi, yang didasarkan pada pemahaman yang lebih baik tentang karakteristik molekuler unik setiap tumor. Pergeseran paradigma ini, yang diringkas dalam frasa "Predict Before You Treat," menekankan pentingnya mengidentifikasi biomarker prediktif sebelum memulai terapi.

 

Pendekatan ini bertujuan untuk mengalokasikan pasien ke pengobatan yang paling mungkin berhasil, meminimalkan toksisitas yang tidak perlu, dan meningkatkan efikasi pengobatan, jauh melampaui strategi "kombinasi penyelamatan" yang seringkali kurang spesifik. Artikel ini akan membahas aplikasi prinsip ini dalam penanganan karsinoma hepatoseluler, kanker saluran empedu, karsinoma urotelial, dan kanker rektum.

 

Karsinoma Hepatoseluler (HCC): Mengoptimalkan Respons Terhadap Sorafenib Melalui Biomarker AMPK/CEBPD

 

Karsinoma hepatoseluler (HCC) adalah kanker hati primer paling umum dan penyebab utama kematian terkait kanker di seluruh dunia. Etiologi utamanya meliputi infeksi virus hepatitis B (HBV) dan C (HCV), sirosis, konsumsi alkohol berlebihan, dan penyakit hati berlemak non-alkoholik (NAFLD). Sorafenib, penghambat multikinase, telah lama menjadi standar perawatan sistemik untuk HCC stadium lanjut, namun respons pasien bervariasi dan resistensi sering terjadi, menyoroti kebutuhan akan strategi sensitisasi yang dipicu biomarker.

Pencarian strategi untuk meningkatkan efikasi sorafenib telah mengarahkan penelitian pada identifikasi agen sensitisasi dan biomarker prediktif. Salah satu pendekatan yang menjanjikan melibatkan penggunaan metformin, obat antidiabetik yang dikenal memiliki efek antikanker.

Studi menunjukkan bahwa metformin dapat meningkatkan sensitivitas sel Hep3B (sel kanker hati manusia) terhadap sorafenib melalui aktivasi autofagi yang diinduksi oleh jalur AMPK/CEBPD. Mekanisme detailnya adalah sebagai berikut:
 

  • Aktivasi AMPK: Metformin, sebagai aktivator AMP-activated protein kinase (AMPK), meningkatkan fosforilasi AMPKα pada residu T172 (pAMPKα). Peningkatan pAMPKα ini merupakan indikator kunci aktivasi jalur metabolisme seluler yang penting.

  • Peningkatan CEBPD: Aktivasi AMPK yang diinduksi metformin secara signifikan meningkatkan ekspresi protein CCAAT/enhancer-binding protein delta (CEBPD). CEBPD dikenal sebagai faktor transkripsi yang terlibat dalam regulasi respons stres seluler dan apoptosis.

  • Induksi Autofagi: Peningkatan aktivitas AMPK dan ekspresi CEBPD secara kolektif memicu peningkatan autofagi, sebuah proses katabolik yang esensial untuk pembersihan komponen sel yang rusak dan adaptasi terhadap stres. Induksi autofagi ini secara kuantitatif ditunjukkan oleh peningkatan rasio LC3B-II/LC3B-I dan secara visual oleh pembentukan puncta LC3B yang lebih banyak dalam sitoplasma sel.
     
  • Ketergantungan pada AMPK: Eksperimen knockdown gen AMPKα (menggunakan shRNA, seperti shKa1 dan shKa2) secara drastis mengurangi efek sensitisasi metformin terhadap sorafenib dan menghambat induksi autofagi. Hal ini menegaskan peran sentral dan esensial AMPK dalam mediasi respons ini.
     
  • Peran Autofagi dalam Kematian Sel: Penghambatan autofagi (misalnya, dengan chloroquine) secara signifikan membalikkan efek sitotoksik kombinasi SFN+MET (Sorafenib-Metformin), menunjukkan bahwa autofagi bukan hanya efek samping tetapi merupakan mediator kritis dalam kematian sel yang diinduksi oleh kombinasi terapi ini.



Temuan ini secara kolektif menyoroti jalur AMPK/CEBPD sebagai biomarker potensial yang dapat memprediksi respons terhadap kombinasi metformin dan sorafenib pada pasien HCC. Pasien dengan status aktivasi AMPK yang tinggi atau ekspresi CEBPD yang responsif mungkin menjadi kandidat yang lebih baik untuk pendekatan terapi ini, mewujudkan prinsip "Predict Before You Treat" dalam praktik klinis HCC dengan mengidentifikasi subpopulasi pasien yang akan mendapatkan manfaat maksimal dari strategi sensitisasi ini.
 

 

Kanker Saluran Empedu (BTC): Mengatasi Kemoresistensi Gemcitabine Melalui Jalur Leptin-STAT3-CEBPD-MCL1

 

Kanker saluran empedu atau BTC (Biliary Tract cancer ya, bukan Bitcoin), termasuk kolangiokarsinoma intrahepatik dan ekstrahepatik serta kanker kandung empedu, adalah kelompok keganasan yang agresif dengan prognosis yang buruk dan pilihan pengobatan yang terbatas. Gemcitabine, seringkali dalam kombinasi dengan cisplatin, merupakan kemoterapi standar untuk BTC stadium lanjut. Namun, kemoresistensi sering menjadi penghalang utama keberhasilan terapi.

Penelitian telah mengidentifikasi jalur sinyal yang kompleks yang berkontribusi pada kemoresistensi ini, khususnya yang melibatkan interaksi antara adiposit dan sel tumor. Salah satu jalur krusial adalah Adipocyte-derived leptin-STAT3-CEBPDelta-MCL1.

  • Leptin dari Adiposit: Adiposit di sekitar tumor dapat mensekresikan leptin, sebuah hormon yang berperan dalam metabolisme energi dan juga dapat bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel kanker. Lingkungan mikro tumor yang kaya adiposit dapat meningkatkan paparan sel tumor terhadap leptin.

  • Aktivasi STAT3: Leptin berikatan dengan reseptornya pada sel kanker, mengaktifkan jalur sinyal hilir, termasuk Signal Transducer and Activator of Transcription 3 (STAT3). Aktivasi STAT3 yang persisten sering dikaitkan dengan proliferasi sel, kelangsungan hidup, dan resistensi obat pada berbagai jenis kanker.

  • Peningkatan CEBPD: Aktivasi STAT3 selanjutnya dapat menginduksi ekspresi CCAAT/enhancer-binding protein delta (CEBPD). Sama seperti pada HCC, CEBPD di sini mungkin memainkan peran dalam respons stres seluler, namun dalam konteks ini, ia berkontribusi pada mekanisme resistensi.

  • Regulasi MCL1: CEBPD, di bawah pengaruh STAT3, dapat meningkatkan ekspresi MCL1 (Myeloid Cell Leukemia 1). MCL1 adalah protein anti-apoptosis dari keluarga Bcl-2 yang sangat penting untuk kelangsungan hidup sel kanker, terutama dalam menghadapi agen kemoterapi. Peningkatan MCL1 membuat sel kanker lebih tahan terhadap induksi apoptosis oleh kemoterapi.

  • Efikasi Gemcitabine: Peningkatan ekspresi MCL1 yang diinduksi oleh jalur leptin-STAT3-CEBPD secara langsung mengurangi efikasi gemcitabine. Gemcitabine bekerja dengan mengganggu sintesis DNA dan menginduksi apoptosis, tetapi jika sel memiliki tingkat MCL1 yang tinggi, mereka dapat menghindari kematian sel yang diinduksi obat.



 

 

Identifikasi jalur leptin-STAT3-CEBPD-MCL1 sebagai pendorong kemoresistensi gemcitabine memberikan biomarker prediktif dan target terapeutik potensial. Pasien dengan tingkat leptin serum yang tinggi, aktivasi STAT3 yang persisten, atau ekspresi CEBPD/MCL1 yang tinggi mungkin kurang responsif terhadap gemcitabine, dan mungkin memerlukan strategi terapi tambahan yang menargetkan komponen jalur ini (misalnya, penghambat STAT3 atau MCL1) untuk meningkatkan sensitivitas terhadap kemoterapi.
 

Karsinoma Urotelial (UC): Peran Mikro Lingkungan Stroma dalam Hasil Klinis yang Buruk

 

Karsinoma urotelial (UC), yang paling sering menyerang kandung kemih, adalah kanker yang sangat bervariasi dalam presentasi dan respons terhadap pengobatan. Kemoterapi berbasis platinum telah lama menjadi tulang punggung pengobatan untuk UC stadium lanjut. Namun, munculnya imunoterapi dan terapi bertarget telah merevolusi penanganan penyakit ini. Selain biomarker intrinsik tumor, karakteristik mikro lingkungan tumor (TME) juga memainkan peran krusial dalam memprediksi hasil klinis.

Salah satu faktor penting dalam TME UC adalah ekspresi SFRP2 (Secreted Frizzled-Related Protein 2) pada stroma dan hubungannya dengan infiltrasi Fibroblas Terkait Kanker (CAF), yang berkorelasi dengan hasil klinis yang lebih buruk.

  • Ekspresi SFRP2 Stroma: SFRP2 adalah anggota keluarga protein SFRP yang dapat memodulasi jalur sinyal Wnt. SFRP2 yang diekspresikan oleh sel-sel stroma (non-kanker) di sekitar tumor telah diidentifikasi sebagai faktor penting dalam progresivitas kanker.
     
  • Infiltrasi CAF: Peningkatan ekspresi SFRP2 di stroma dikaitkan dengan peningkatan rekrutmen dan aktivasi Fibroblas Terkait Kanker (CAF). CAF adalah komponen dominan dalam TME dan dikenal untuk mempromosikan pertumbuhan tumor, invasi, metastasis, dan resistensi terhadap terapi melalui sekresi faktor pertumbuhan, sitokin, dan remodelling matriks ekstraseluler.
     
  • Hasil Klinis yang Lebih Buruk: Infiltrasi CAF yang tinggi, yang dipicu oleh SFRP2 stroma, secara konsisten dikaitkan dengan hasil klinis yang lebih buruk pada pasien UC. Ini termasuk tingkat kekambuhan yang lebih tinggi, respons yang lebih rendah terhadap kemoterapi, dan kelangsungan hidup keseluruhan yang lebih pendek. CAF menciptakan lingkungan imunosupresif dan pro-tumorigenik yang menghambat respons imun anti-tumor dan mempromosikan kelangsungan hidup sel kanker.


Dengan demikian, ekspresi SFRP2 stroma dan tingkat infiltrasi CAF dapat berfungsi sebagai biomarker prognostik penting pada UC. Pasien dengan ekspresi SFRP2 stroma yang tinggi dan/atau infiltrasi CAF yang signifikan mungkin memerlukan strategi terapi yang lebih agresif atau pendekatan yang menargetkan TME (misalnya, menargetkan SFRP2 atau CAF) selain terapi standar, untuk memprediksi dan mengatasi resistensi serta meningkatkan prognosis.

 

Kanker Rektum: Memprediksi Respons dan Prognosis Pasca-Kemoradiasi Melalui CXCL11 dan Makrofag M1

 

Kanker rektum adalah keganasan umum yang penanganannya sering melibatkan kombinasi terapi multimodalitas, termasuk kemoradiasi neoadjuvan (CCRT), operasi, dan kemoterapi adjuvan. Tujuan utama adalah mencapai kontrol lokal penyakit dan mencegah kekambuhan. Biomarker memainkan peran yang semakin penting dalam mempersonalisasi strategi pengobatan ini, termasuk dalam memprediksi respons terhadap CCRT dan prognosis.

Salah satu biomarker yang muncul dalam konteks ini adalah CXCL11 dan hubungannya dengan makrofag M1, yang berkorelasi dengan hasil klinis dan prognosis pasca-CCRT.

  • CXCL11 (C-X-C Motif Chemokine Ligand 11): CXCL11 adalah kemokin yang dikenal sebagai penginduksi kemokin T-cell-attracting. Ini memainkan peran penting dalam rekrutmen sel-sel kekebalan ke lokasi peradangan dan tumor. Ekspresi CXCL11 dapat diinduksi oleh sitokin pro-inflamasi dan sering dikaitkan dengan respons imun anti-tumor.
     
  • CCRT dan Respons Imun: Kemoradiasi neoadjuvan (CCRT) tidak hanya membunuh sel kanker secara langsung tetapi juga dapat memodulasi mikro lingkungan tumor, termasuk respons imun. CCRT dapat menginduksi pelepasan molekul yang berfungsi sebagai sinyal bahaya, yang pada gilirannya dapat memicu respons imun adaptif.
     
  • Makrofag M1: Makrofag dapat diklasifikasikan menjadi fenotipe M1 (pro-inflamasi, anti-tumor) dan M2 (anti-inflamasi, pro-tumor). Infiltrasi makrofag M1 ke dalam tumor sering dikaitkan dengan respons imun yang efektif dan prognosis yang lebih baik. CXCL11, melalui kemoatraksinya, dapat mempromosikan infiltrasi makrofag M1.
     
  • Hasil Klinis dan Prognosis: Penelitian menunjukkan bahwa tingkat ekspresi CXCL11 yang tinggi dalam tumor rektum pasca-CCRT, yang mungkin berkorelasi dengan peningkatan infiltrasi makrofag M1, dikaitkan dengan respons patologis yang lebih baik terhadap CCRT dan prognosis yang lebih baik. Makrofag M1 membantu membersihkan sel-sel kanker yang rusak dan memicu respons imun yang lebih kuat terhadap tumor yang tersisa.


Dengan demikian, ekspresi CXCL11 dan infiltrasi makrofag M1 dapat berfungsi sebagai biomarker prediktif dan prognostik pada kanker rektum. Pasien dengan tingkat CXCL11 yang tinggi dan/atau infiltrasi makrofag M1 yang signifikan pasca-CCRT mungkin memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk mencapai respons patologis lengkap (pCR) dan kelangsungan hidup jangka panjang yang lebih baik. Biomarker ini dapat membantu dalam stratifikasi pasien untuk terapi adjuvan atau bahkan untuk mengidentifikasi pasien yang mungkin memenuhi syarat untuk strategi "watch-and-wait" setelah pCR.
 

Kesimpulan: Masa Depan Terapi Kanker yang Dipicu Biomarker



Pendekatan "Predict Before You Treat" mewakili evolusi krusial dalam onkologi modern. Seperti yang ditunjukkan oleh karsinoma hepatoseluler, kanker saluran empedu, karsinoma urotelial, dan kanker rektum, identifikasi dan pemanfaatan biomarker prediktif memungkinkan stratifikasi pasien yang lebih baik, pemilihan terapi yang lebih tepat sasaran, dan peningkatan hasil klinis.

Studi kasus tentang metformin yang meningkatkan sensitivitas sorafenib pada HCC melalui jalur AMPK/CEBPD-autofagi, implikasi jalur leptin-STAT3-CEBPD-MCL1 pada kemoresistensi gemcitabine di BTC, peran SFRP2 stroma dan infiltrasi CAF pada UC, serta hubungan CXCL11 dengan makrofag M1 dan prognosis pada kanker rektum, semuanya menyoroti kompleksitas dan potensi besar dari pendekatan ini. Seiring dengan kemajuan teknologi pengurutan genom, transkriptomik, proteomik, dan bioinformatika, kita dapat mengantisipasi penemuan biomarker baru yang akan semakin menyempurnakan kemampuan kita untuk memprediksi respons terapi, meminimalkan toksisitas, dan pada akhirnya, mewujudkan janji pengobatan presisi untuk semua pasien kanker. Pergeseran dari "kombinasi penyelamatan" yang luas menuju intervensi yang dipicu oleh biomarker yang tepat adalah masa depan penanganan kanker. 

 

Artikel ini dibuat berdasarkan Kuliah Biomolekuler oleh Dr. Hong-Yue Lai, Department of Pharmacology, 12 Desember 2025, China Medical University at Yingcai Campus 

 

Referensi Materi Perkuliahan bisa dilihat disini

 

 

 

Terima kasih telah mengunjungi dan membaca artikel di website kami. Dapatkan Update Artikel dengan cara mengikuti beberapa Link berikut:


Facebook: https://web.facebook.com/OfficialCatatanDokter
Telegram : https://t.me/catatandokter atau @catatandokter

 

 

Artikel Lainnya

No comments:

Post a Comment

Pages